Kamis, 06 November 2014

APA YANG TERJADI DENGAN DEPOK UNTUK SEKARANG DAN SELANJUTNYA? 

Setelah diberi hak otonom pada tahun 1999, permasalahan yang dihadapi oleh Pemkot Depok semakin kompleks saja. Sebagai kota penunjang DKI Jakarta wajar bila laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pemukiman di Kota Depok meningkat tajam. Depok menjadi tujuan “Urbanisasi” terbesar warga ibukota Jakarta. Ini terlihat dari banyaknya perumahan yang berdiri di Kota Depok dan hadirnya banyak pusat perbelanjaan di Kota Depok. Di masa kini, indikasi pesatnya perkembangan sebuah kota adalah kemacetan yang terjadi di jalan-jalan, terutama jalan utama, kota tersebut. Posisi Depok yang dekat dengan perlintasan jalur Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi membuat daerah ini cukup dipadati oleh kendaraan-kendaraan pribadi maupun umum setiap hari. Oleh karena itu, masalah kemacetan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah Kota Depok yang tahun ini berulang tahun ke-10, mempunyai pekerjaan rumah (PR) untuk mengatasi kemacetan yang kian hari kian parah di sejumlah wilayahnya. Seberapa parahkah kerumitan penyebab dan solusi serta efek yang tercipta karena kemacetan itu?
Jika dilihat Kota Depok adalah kota yang cepat berkembang dari kota - kota lainnya di selatan Jakarta. Setelah mereka mandiri dalam skup pemerintahan kota, kemajuan itu tidak bisa dibendung karena Depok yang disebut sebagai kota pendidikan merupakan ladang emas bagi pebisnis - pebisnis di Jakarta, mengingat Jakarta yang semakin hari semakin sumpek. Kota Pendidikan, dilihat dari banyaknya kampus di daerah Depok terutama Kota ini mempunyai salah satu Universitas kebanggaan Indonesia ( Universitas Indonesia ) dan Sudah sesaknya Jakarta akhirnya membuat para pengusaha baik dibidang perumahan, perkantoran serta tak luput dari pengembang pasar - pasar modern ( MALL ) bergerak menduduki “pasar” di Kota Depok. Faktanya Tahun 2005, Kota Depok mendapat peringkat A untuk kategori tempat investasi dengan kualitas pelayanan terbaik dari KPPOD. Tentu saja Pesatnya pembangunan akan membuat makmur para penduduk di Kota Depok, hal ini terlihat dari terbukanya lapangan pekerjaan, dan peluang usaha baru serta Pegawai Negeri Kota Depok yang penghasilannya lebih besar jika dibandingkan dengan kota lain seperti Bogor dan Tangerang ini bahkan hampir menyamai Jakarta, ditambah pula moda transportasi jalan raya hingga kereta api yang memadai di kota Depok. Hal yang menarik lainnya adalah setiap ada warga Depok ( Ber-KTP Depok ) meninggal dunia maka secara otomatis akan menerima uang santunan sebesar Rp. 2.000.000,- untuk keluarga yang ditinggalkan. Mungkin begitu banyaknya keuntungan, kemudahan fasilitas pendidikan serta peluang usaha yang tinggi itu pula lah yang membuat Kota Depok menjadi kota tujuan terbesar warga Ibu Kota yang telah “bosan” dengan kesumpekan serta kemacetan. Namun, apakah nantinya Kota Depok akan bernasib sama seperti Jakarta? Sumpek, berpolusi dan pastinya dihantui kemacetan yang serupa dengan Jakarta?
Kota Depok tercinta kini telah berumur 11 tahun, sejak tahun 1999 menjadi kota administratif sendiri dan memiliki pemerintah kota saat otonomi daerah berlangsung. Tata ruang dan wilayah Pemkot Depok terbilang kacau dan tak tertata. Hal itu dapat kita lihat secara kasat mata, betapa Pemkot Depok begitu mudahnya mengeluarkan izin pendirian Mal – mal besar di daerah penunjang Jakarta yang teramat sempit ini tanpa mengatur letak pendirian antar mal itu. Pemkot terkesan mengutamakan jati diri Depok yang mewah dan modern tanpa memikirkan efek terhadap kemacetan yang saban hari semakin mengalahkan kemacetan yang terjadi di Ibu Kota sendiri, warga Depok secara perlahan disuapi hal – hal yang berbau hedonis, seakan – akan pula kita dihadapi propaganda menjadi warga konsumtif daripada produktif, padahal keberadaan Mal – mal yang tumpah ruah di jalan utama Depok lah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan total yang setiap hari mengisi rutinitas warga Kota Khas Belimbing ini. Bagaimana tidak, di Kota Sesempit ini tapi memiliki sepuluh mall besar ( Depok Town Square, Margo City, Plaza Depok, Depok Mall, ITC Depok, Cimanggis Mall, Cinere Mall, DTC Maharaja, Giant AURI, dan TIP TOP Depok II ) empat mall terdepan terletak di sepanjang Jalan Raya Margonda. Semua itu melambangkan tingginya investasi pusat perbelanjaan di Depok dan kemacetan yang timbulkannya. Ditambah pula volume kendaraan yang melintas di Jalan Margonda Raya dalam setiap jam mencapai 3.000 kendaraan, termasuk angkutan umum yang mencapai 600 hingga 700 unit setiap jam” demikian pernyataan Kapolres Metro Depok, Komisaris Besar (Kombes) Imam Pramukarno. Keberadaan angkutan umum yang terasa melebihi kapasitasnya pun menjadi salah satu penyebab kemacetan terjadi, banyaknya angkutan umum membuat semakin meningkatkan persaingan mencari penumpang antar angkot hingga sering melanggar peraturan, dengan ngetem di sembarang tempat hingga menutupi jalan sampai berhenti dan menurunkan penumpang seenaknya bahkan di tengah jalan. ”Coba lihat di jalan, jumlah angkot itu lebih banyak dari warganya. Jangan hanya karena alasan mendatangkan PAD, jumlah angkot tidak dikurangi. Pemkot Depok harus melihat kenyataanya di lapangan,” imbuh Kasat Lantas Polres Metro Depok Kompo Jamin. Ditambah ketersediaan penambahan volume jalan yang tak sebanding dengan pertumbuhan volume kendaraan serta kekurangan polisi lalu lintas yang mengatur jalan semakin merumitkan masalah kemacetan di Kota Depok. Bayangkan, baru keluar rumah menuju jalan raya, kita langsung dihadang antrean mesin kendaraan pengkonsumsi solar dan bensin. Masyarakat yang hendak melintas Jalan Margonda pada jam 05.00 WIB hingga 22.00 WIB akan mengalami kemacetan mulai dari Tugu Perbatasan Selamat Datang di Kota Depok (UI), pertigaan Arif Rahman Hakim (ARH), Jalan Raya Kartini, Jalan Raya Dewi Sartika sampai Jalan Raya Siliwangi membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk jarak tujuh kilometer. Tak itu saja, di sepanjang jalan Raya Bogor-Jakarta, atau kawasan Cimanggis, setiap pagi-sore kemacetan mewarnai jalan itu. Angkutan Kota (Angkot) ketika berebut penumpang, banyak berhenti ditengah jalan sehingga mengakibatkan kemacetan panjang. Di Jalan Simpang Depok, Jalan Raya Cinere hingga Jalan Raya Sawangan yang banyak terdapat jalan berlubang pun nyaris tak pernah lancar. Angkot-angkot banyak ngetem di tengah jalan menunggu penumpang, yang mengakibatkan jalan itu semrawut tak karuan. “Pada jam sibuk pagi dan sore, rata-rata kepadatan kendaraan sekitar 800-900 unit mobil dan 2.800-3.000 motor” lanjut Imam Pramukarno. Jalan Margonda Raya menjadi titik kemacetan utama dengan membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk jarak tujuh kilometer selain keberadaan angkot, tingginya volume kendaraan, aspek keberadaan mal – mal besar di sepanjang jalan tersebut menjadi salah satu penyebab. Ketua LKPD ( Lembaga Kajian Pembangunan Daerah ) Depok Prihandoko menambahkan, penyebab kemacetan antara lain kerusakan jalan, kurang maksimalnya sistem manajemen transportasi, ketidakseimbangan antara ruas jalan dengan jumlah kendaraan, dan rendahnya partisipasi masyarakat atau ketaatan terhadap aturan. Apa efeknya? produktivitas pun menurun sebanding dengan penurunan ketahanan daya tubuh dalam beraktifitas, kita dipaksa bermandikan keringat dan “ menghitamkan kulit” setiap akan menggunakan jalan raya. Semangat untuk mencari nafkah atau menjalani aktifitas sehari – hari pun telah luntur sebelum kita menginjakan kaki di tempat kerja, sekolah, kampus, pusat hiburan atau tempat tujuan lainnya. Pernahkah kita telaah berapa banyak uang dan tenaga yang terbuang sia – sia akibat melawan antrean panjang ribuan kendaraan di jalan – jalan kota Depok saat menuju tempat aktifitas kita? Apabila diasumsikan rata-rata kemacetan mencapai 45 menit, maka untuk mobil akan didapat angka 3.825 jam terbuang di jalan, sementara motor 8.550 jam. ''Nah kaitannya dengan aspek ekonomi, ada sebanyak 19.125 liter bahan bakar digunakan oleh mobil senilai Rp 86.062 per hari, motor memakai 18.321 liter setara Rp 82.446 per hari,'' ungkap Wakil Ketua Lembaga Kajian Pembangunan Daerah (LKPD), Dr Kholil. Untuk nilai kehilangan bahan bakar saja mencapai Rp 168.508 per hari. Ini masih ditambah dengan biaya perbaikan mesin yang dari perhitungan totalnya sebesar Rp 42.135 juga aspek kehilangan nilai produktivitas sekitar Rp 110.334 per hari, biaya kesehatan Rp 25 juta per hari serta kerugian akibat pencemaran udara sebesar Rp 10 juta per hari. Sehingga apabila semua digabungkan, maka diperoleh potensi kerugian sebanyak Rp 283 juta per hari atau sekitar Rp 8,4 miliar per bulan. Angka ini pun belum termasuk potensi hilangnya kesempatan bisnis dan investasi yang bisa mencapai lima kali lipat. ''Kalau ditotal keseluruhan kerugian diperkirakan sekitar Rp 10 miliar per bulan,'' tegas Kholil. “Posisi paling merugikan ada pada Jalan Margonda dengan nilai Rp283.091.803 per hari. Perhitungan total ini meliputi nilai ekonomi, pemborosan BBM (Bahan Bakar Minyak), perawatan kendaraan, kehilangan produktivitas, biaya kesehatan, dan biaya pencemaran”, lanjut ketua LKPD Depok Prihandoko. Suatu angka yang amat mengejutkan. Mengingat sudah begitu parahnya kemacetan yang merajalela di hampir seluruh jalan raya di Kota Depok membuat Kota ini tak ayal menjadi penyaing kemacetan DKI Jakarta.
Harus sampai kapan kita berdiam diri menghadapi semua ini? Apakah kita sudah terlalu nyaman dengan semua ini? Begitu banyaknya tenaga dan uang yang bercucuran karena “bencana kemacetan” ini seharusnya membuat kita sebagai pengguna jalan dan Pemkot Depok sebagai pihak pembuat kebijakan sadar untuk mengatasi hal itu. Kalau sudah begini jadinya. Sepertinya, pengurangan angkutan umum, penambahan volume jalan baik jalan umum atau jalan bebas hambatan, perbaikan jalan, penambahan jembatan penyeberangan hingga pemberlakuan “three in one” sebagai langkah pengurangan volume kendaraaan pribadi mutlak dilaksanakan. Pemkot Depok harus segera menata ulang Perencanaan Tata Ruang dan Wilayahnya dan bergerak melaksanakan solusi tersebut. Namun, semua itu berbalik lagi kepada kita sebagai penyebab utama kemacetan yang kita keluhkan sendiri. Jika kita tak mendukung kebijakan di atas dan merubah kebiasaan kita melanggar peraturan lalu lintas, impian melihat dan merasakan kemacetan Kota Depok yang terkendali dan teratur hanya dongeng belaka bahkan bukannya tak mungkin mengalahkan suramnya persoalan kemacetan di Ibukota Indonesia, DKI Jakarta.

Semua Tentang Depok

Kota Depok adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak tepat di selatan Jakarta, yakni antara Jakarta-Bogor. Kata Depok sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sunda yang berarti pertapaan atau tempat bertapa. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kata Depok merupakan sebuah akronim dari De Eerste Protestants Onderdaan Kerk yang artinya adalah Gereja Kristen Rakyat Pertama. [2].
Depok dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor, yang kemudian mendapat status kota administratif pada tahun 1982. Sejak 20 April 1999, Depok ditetapkan menjadi kotamadya (sekarang: kota) yang terpisah dari Kabupaten Bogor. Kota Depok terdiri atas 11 kecamatan, yang dibagi menjadi 63 kelurahan.
Depok merupakan kota penyangga Jakarta. Ketika menjadi kota administratif pada tahun 1982, penduduknya hanya 240.000 jiwa, dan ketika menjadi kotamadya pada tahun 1999 penduduknya 1,2 juta jiwa. Universitas Indonesia (kecuali Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, dan sebagian Program Pasca Sarjana) berada di wilayah Kota Depok.
Sejak bulan Juni 2012, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail telah menetapkan program One Day No Car, yaitu program satu hari tanpa mobil bagi pejabat pemerintahan Kotamadya Depok. Program ini dilakukan setiap hari Selasa.

Pemekaran kecamatan di kota Depok

Pemekaran Kecamatan di Kota Depok dari 6 (enam) menjadi 11 (sebelas) kecamatan merupakan implementasi dari Perda Kota Depok Nomor 08 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan di Kota Depok, yang diharapkan akan berdampak positif bagi masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah kecamatan tersebut, akan semakin mendekatkan pelayanan sehingga memudahkan masyarakat dalam mengurus berbagai keperluannya yang membutuhkan layanan aparatur pemerintah di kecamatan.
Di samping itu, dengan pemekaran ini menjadikan setiap kecamatan hanya akan membawahi empat hingga tujuh kelurahan saja, di mana sebelumnya 6 hingga 14 Kelurahan, diharapkan camat dapat lebih intensif untuk berkoordinasi dengan para Lurah dan aparaturnya sehingga dapat memperkokoh fungsinya dalam mensukseskan program-program yang digulirkan Pemkot melalui berbagai OPD.
Adapun selangkapnya nama-nama kecamatan dan kelurahan hasil pemekaran berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2007 yang disahkan oleh DPRD Kota Depok, sebagai berikut:
  1. Kecamatan Beji meliputi wilayah kerja: Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurahan Kemiri Muka, Kelurahan Pondok Cina, Kelurahan Kukusan, dan Kelurahan Tanah Baru.
  2. Kecamatan Pancoran Mas meliputi wilayah kerja: Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkap Jaya Baru, dan Kelurahan Mampang.
  3. Kecamatan Cipayung meliputi wilayah kerja: Kelurahan Cipayung, Kelurahan Cipayung Jaya, Kelurahan Ratu Jaya, Kelurahan Bojong Pondok Terong, dan Kelurahan Pondok Jaya.
  4. Kecamatan Sukmajaya meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Abadijaya, Kelurahan Tirtajaya, dan Kelurahan Cisalak.
  5. Kecamatan Cilodong meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sukamaju, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, dan Kelurahan Jatimulya.
  6. Kecamatan Limo meliputi wilayah kerja: Kelurahan Limo, Kelurahan Meruyung, Kelurahan Grogol, dan Kelurahan Krukut.
  7. Kecamatan Cinere meliputi wilayah kerja: Kerurahan Cinere, Kelurahan Gandul, Kelurahan Pangkal Jati Lama, dan Kelurahan Pangkal Jati Baru.
  8. Kecamatan Cimanggis meliputi wilayah kerja: Kelurahan Cisalak Pasar, Kelurahan Mekarsari, Kelurahan Tugu, Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Kelurahan Harjamukti, dan Kelurahan Curug.
  9. Kecamatan Tapos meliputi wilayah kerja: Kelurahan Tapos, Kelurahan Leuwinanggung, Kelurahan Sukatani, Kelurahan Sukamaju Baru, Kelurahan Jatijajar, Kelurahan Cilangkap, dan Kelurahan Cimpaeun.
  10. Kecamatan Sawangan meliputi wilayah kerja: Kelurahan Sawangan, Kelurahan Kedaung, Kelurahan Cinangka, Kelurahan Sawangan Baru, Kelurahan Bedahan, Kelurahan Pengasinan, dan Kelurahan Pasir Putih.
  11. Kecamatan Bojongsari meliputi wilayah kerja: Kelurahan Bojongsari, Kelurahan Bojongsari Baru, Kelurahan Serua, Kelurahan Pondok Petir, Kelurahan Curug, Kelurahan Duren Mekar, dan Kelurahan Duren Seribu.
Kota Depok selain sebagai kota otonom yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, dan sebagai kota resapan air.

Walikota pertama

Tahun 1997 seiring dengan pesatnya Depok sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor, sudah saatnya diarahkan sebagai sebuah kota satelit yang mandiri. Maka dimulailah serangkain rencana strategis untuk menjadikan Kota Depok sebagai Kota yang mandiri. Untuk mengawal itu semua, tidak ada pilihan lain, maka Bupati Bogor menunjuk sosok birokrat aktifis yang berpengalaman, yakni Badrul Kamal sebagai Walikota Administratif Depok.
Tonggak perjuangan dimulai sejak Badrul Kamal, menjadi Walikota Administratif Depok, serangkaian perencanaan strategis menuju Kota yang mandiri dicanangkan. Akhirnya 3 tahun kemudian tepatnya tanggal 27 April 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15/1999 tentang Pembentukan Kotamadya Depok dan Cilegon, maka resmilah Depok Menjadi Kota Mandiri, hasil jerih payah seorang birokrat aktifis Badrul Kamal. [4]
Berkat perjuangannya yang didukung oleh jajaran birokrasinya, Depok yang masih bayi, pada tahun 2000 memilih pemimpinnya. Mudah ditebak, masyarakat Depok ingin pengabdian Badrul Kamal dilanjutkan, maka terpilihnya Badrul Kamal sebagai walikota Depok pertama pada tahun 2000-2005.
Geliat Bayi Depok menyeruak dan masyarakat guyup bersatu dengan pemimpinnya untuk membangun. Maka bayi yang baru lahir tersebut dalam rentang waktu lima tahun (thn 2000-2005) telah menjelma menjadi “bayi fenomenal”, bahkan saudara kembar, serta Bapak kandungnya sendiri seolah-olah iri melihat pesatnya Depok sebagai kota yang mandiri.
Sekolah-sekolah dibangun, puskesmas dibangun, jalan-jalan diperbaiki, bahkan Jalan Juanda yang menjadi kebanggaan hingga kini dibangun pada tahun ke 3 usia pemerintahan Badrul Kamal, Untuk mengantisipasi pesatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya ekonomi warga, pada tahun itu pula dicanangkan pembangunan ruas jalan tol. Peruntukan ruas jalan tol inilah yang direncanakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Depok. Untuk mewujudkan rencana itu kemudian Panitia Khusus RTRW Kota Depok 2000-2010 dibentuk yang di ketuai oleh Agus Sutondo. Maka melalui RTRW Kota Depok 2000-2010, Akhirnya perencanaan ruas Jalan Tol Cinere-Jagorawi dan rencana ruas jalan tol Depok-Antasari dapat terwujud yang nantinya akan menghubungkan wilayah Jakarta, Depok dan Bogor.[5]
Tingkat perekonomian tumbuh diatas rata” nasional. Masyarakat hidup dalam alam toleransi. Kota Depok yang plural bahkan bisa dibilang “Indonesia Mini”, mendapatkan perlakuan yang sama. “Badrul Kamal” sebagai pemimpin berdiri di atas semua golongan. Namun apa daya waktu lima tahun terlalu cepat untuk mengejar ketertinggalan Depok di wilayah Penyangga Ibukota ini. Tahun 2005 Badrul Kamal mengakhiri pengabdiannya yang pertama. Depok telah memilih pemimpinnya yang baru. Dengan segudang harapan dan impian “clean government and good governant”[6]

Walikota Administratif

Dari tahun 1982 – 1999, penyelenggaraan pemerintah Kota Administratif Depok mengalami pergantian Kepemimpinan sebagai berikut:[7]