APA YANG TERJADI DENGAN DEPOK UNTUK SEKARANG DAN SELANJUTNYA?
Setelah diberi hak otonom pada tahun 1999, permasalahan yang dihadapi
oleh Pemkot Depok semakin kompleks saja. Sebagai kota penunjang DKI
Jakarta wajar bila laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pemukiman di
Kota Depok meningkat tajam. Depok menjadi tujuan “Urbanisasi” terbesar
warga ibukota Jakarta. Ini terlihat dari banyaknya perumahan yang
berdiri di Kota Depok dan hadirnya banyak pusat perbelanjaan di Kota
Depok. Di masa kini, indikasi pesatnya perkembangan sebuah kota adalah
kemacetan yang terjadi di jalan-jalan, terutama jalan utama, kota
tersebut. Posisi Depok yang dekat dengan perlintasan jalur
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi membuat daerah ini cukup dipadati
oleh kendaraan-kendaraan pribadi maupun umum setiap hari. Oleh karena
itu, masalah kemacetan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan pemerintah Kota Depok yang tahun ini berulang tahun ke-10,
mempunyai pekerjaan rumah (PR) untuk mengatasi kemacetan yang kian hari
kian parah di sejumlah wilayahnya. Seberapa parahkah kerumitan penyebab
dan solusi serta efek yang tercipta karena kemacetan itu?
Jika
dilihat Kota Depok adalah kota yang cepat berkembang dari kota - kota
lainnya di selatan Jakarta. Setelah mereka mandiri dalam skup
pemerintahan kota, kemajuan itu tidak bisa dibendung karena Depok yang
disebut sebagai kota pendidikan merupakan ladang emas bagi pebisnis -
pebisnis di Jakarta, mengingat Jakarta yang semakin hari semakin sumpek.
Kota Pendidikan, dilihat dari banyaknya kampus di daerah Depok terutama
Kota ini mempunyai salah satu Universitas kebanggaan Indonesia (
Universitas Indonesia ) dan Sudah sesaknya Jakarta akhirnya membuat para
pengusaha baik dibidang perumahan, perkantoran serta tak luput dari
pengembang pasar - pasar modern ( MALL ) bergerak menduduki “pasar” di
Kota Depok. Faktanya Tahun 2005, Kota Depok mendapat peringkat A untuk
kategori tempat investasi dengan kualitas pelayanan terbaik dari KPPOD.
Tentu saja Pesatnya pembangunan akan membuat makmur para penduduk di
Kota Depok, hal ini terlihat dari terbukanya lapangan pekerjaan, dan
peluang usaha baru serta Pegawai Negeri Kota Depok yang penghasilannya
lebih besar jika dibandingkan dengan kota lain seperti Bogor dan
Tangerang ini bahkan hampir menyamai Jakarta, ditambah pula moda
transportasi jalan raya hingga kereta api yang memadai di kota Depok.
Hal yang menarik lainnya adalah setiap ada warga Depok ( Ber-KTP Depok )
meninggal dunia maka secara otomatis akan menerima uang santunan
sebesar Rp. 2.000.000,- untuk keluarga yang ditinggalkan. Mungkin begitu
banyaknya keuntungan, kemudahan fasilitas pendidikan serta peluang
usaha yang tinggi itu pula lah yang membuat Kota Depok menjadi kota
tujuan terbesar warga Ibu Kota yang telah “bosan” dengan kesumpekan
serta kemacetan. Namun, apakah nantinya Kota Depok akan bernasib sama
seperti Jakarta? Sumpek, berpolusi dan pastinya dihantui kemacetan yang
serupa dengan Jakarta?
Kota Depok tercinta kini telah berumur 11
tahun, sejak tahun 1999 menjadi kota administratif sendiri dan memiliki
pemerintah kota saat otonomi daerah berlangsung. Tata ruang dan wilayah
Pemkot Depok terbilang kacau dan tak tertata. Hal itu dapat kita lihat
secara kasat mata, betapa Pemkot Depok begitu mudahnya mengeluarkan izin
pendirian Mal – mal besar di daerah penunjang Jakarta yang teramat
sempit ini tanpa mengatur letak pendirian antar mal itu. Pemkot terkesan
mengutamakan jati diri Depok yang mewah dan modern tanpa memikirkan
efek terhadap kemacetan yang saban hari semakin mengalahkan kemacetan
yang terjadi di Ibu Kota sendiri, warga Depok secara perlahan disuapi
hal – hal yang berbau hedonis, seakan – akan pula kita dihadapi
propaganda menjadi warga konsumtif daripada produktif, padahal
keberadaan Mal – mal yang tumpah ruah di jalan utama Depok lah yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan total yang setiap hari
mengisi rutinitas warga Kota Khas Belimbing ini. Bagaimana tidak, di
Kota Sesempit ini tapi memiliki sepuluh mall besar ( Depok Town Square,
Margo City, Plaza Depok, Depok Mall, ITC Depok, Cimanggis Mall, Cinere
Mall, DTC Maharaja, Giant AURI, dan TIP TOP Depok II ) empat mall
terdepan terletak di sepanjang Jalan Raya Margonda. Semua itu
melambangkan tingginya investasi pusat perbelanjaan di Depok dan
kemacetan yang timbulkannya. Ditambah pula volume kendaraan yang
melintas di Jalan Margonda Raya dalam setiap jam mencapai 3.000
kendaraan, termasuk angkutan umum yang mencapai 600 hingga 700 unit
setiap jam” demikian pernyataan Kapolres Metro Depok, Komisaris Besar
(Kombes) Imam Pramukarno. Keberadaan angkutan umum yang terasa melebihi
kapasitasnya pun menjadi salah satu penyebab kemacetan terjadi,
banyaknya angkutan umum membuat semakin meningkatkan persaingan mencari
penumpang antar angkot hingga sering melanggar peraturan, dengan ngetem
di sembarang tempat hingga menutupi jalan sampai berhenti dan menurunkan
penumpang seenaknya bahkan di tengah jalan. ”Coba lihat di jalan,
jumlah angkot itu lebih banyak dari warganya. Jangan hanya karena alasan
mendatangkan PAD, jumlah angkot tidak dikurangi. Pemkot Depok harus
melihat kenyataanya di lapangan,” imbuh Kasat Lantas Polres Metro Depok
Kompo Jamin. Ditambah ketersediaan penambahan volume jalan yang tak
sebanding dengan pertumbuhan volume kendaraan serta kekurangan polisi
lalu lintas yang mengatur jalan semakin merumitkan masalah kemacetan di
Kota Depok. Bayangkan, baru keluar rumah menuju jalan raya, kita
langsung dihadang antrean mesin kendaraan pengkonsumsi solar dan bensin.
Masyarakat yang hendak melintas Jalan Margonda pada jam 05.00 WIB
hingga 22.00 WIB akan mengalami kemacetan mulai dari Tugu Perbatasan
Selamat Datang di Kota Depok (UI), pertigaan Arif Rahman Hakim (ARH),
Jalan Raya Kartini, Jalan Raya Dewi Sartika sampai Jalan Raya Siliwangi
membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk jarak tujuh kilometer. Tak
itu saja, di sepanjang jalan Raya Bogor-Jakarta, atau kawasan Cimanggis,
setiap pagi-sore kemacetan mewarnai jalan itu. Angkutan Kota (Angkot)
ketika berebut penumpang, banyak berhenti ditengah jalan sehingga
mengakibatkan kemacetan panjang. Di Jalan Simpang Depok, Jalan Raya
Cinere hingga Jalan Raya Sawangan yang banyak terdapat jalan berlubang
pun nyaris tak pernah lancar. Angkot-angkot banyak ngetem di tengah
jalan menunggu penumpang, yang mengakibatkan jalan itu semrawut tak
karuan. “Pada jam sibuk pagi dan sore, rata-rata kepadatan kendaraan
sekitar 800-900 unit mobil dan 2.800-3.000 motor” lanjut Imam
Pramukarno. Jalan Margonda Raya menjadi titik kemacetan utama dengan
membutuhkan waktu satu hingga dua jam untuk jarak tujuh kilometer selain
keberadaan angkot, tingginya volume kendaraan, aspek keberadaan mal –
mal besar di sepanjang jalan tersebut menjadi salah satu penyebab. Ketua
LKPD ( Lembaga Kajian Pembangunan Daerah ) Depok Prihandoko
menambahkan, penyebab kemacetan antara lain kerusakan jalan, kurang
maksimalnya sistem manajemen transportasi, ketidakseimbangan antara ruas
jalan dengan jumlah kendaraan, dan rendahnya partisipasi masyarakat
atau ketaatan terhadap aturan. Apa efeknya? produktivitas pun menurun
sebanding dengan penurunan ketahanan daya tubuh dalam beraktifitas, kita
dipaksa bermandikan keringat dan “ menghitamkan kulit” setiap akan
menggunakan jalan raya. Semangat untuk mencari nafkah atau menjalani
aktifitas sehari – hari pun telah luntur sebelum kita menginjakan kaki
di tempat kerja, sekolah, kampus, pusat hiburan atau tempat tujuan
lainnya. Pernahkah kita telaah berapa banyak uang dan tenaga yang
terbuang sia – sia akibat melawan antrean panjang ribuan kendaraan di
jalan – jalan kota Depok saat menuju tempat aktifitas kita? Apabila
diasumsikan rata-rata kemacetan mencapai 45 menit, maka untuk mobil akan
didapat angka 3.825 jam terbuang di jalan, sementara motor 8.550 jam.
''Nah kaitannya dengan aspek ekonomi, ada sebanyak 19.125 liter bahan
bakar digunakan oleh mobil senilai Rp 86.062 per hari, motor memakai
18.321 liter setara Rp 82.446 per hari,'' ungkap Wakil Ketua Lembaga
Kajian Pembangunan Daerah (LKPD), Dr Kholil. Untuk nilai kehilangan
bahan bakar saja mencapai Rp 168.508 per hari. Ini masih ditambah dengan
biaya perbaikan mesin yang dari perhitungan totalnya sebesar Rp 42.135
juga aspek kehilangan nilai produktivitas sekitar Rp 110.334 per hari,
biaya kesehatan Rp 25 juta per hari serta kerugian akibat pencemaran
udara sebesar Rp 10 juta per hari. Sehingga apabila semua digabungkan,
maka diperoleh potensi kerugian sebanyak Rp 283 juta per hari atau
sekitar Rp 8,4 miliar per bulan. Angka ini pun belum termasuk potensi
hilangnya kesempatan bisnis dan investasi yang bisa mencapai lima kali
lipat. ''Kalau ditotal keseluruhan kerugian diperkirakan sekitar Rp 10
miliar per bulan,'' tegas Kholil. “Posisi paling merugikan ada pada
Jalan Margonda dengan nilai Rp283.091.803 per hari. Perhitungan total
ini meliputi nilai ekonomi, pemborosan BBM (Bahan Bakar Minyak),
perawatan kendaraan, kehilangan produktivitas, biaya kesehatan, dan
biaya pencemaran”, lanjut ketua LKPD Depok Prihandoko. Suatu angka yang
amat mengejutkan. Mengingat sudah begitu parahnya kemacetan yang
merajalela di hampir seluruh jalan raya di Kota Depok membuat Kota ini
tak ayal menjadi penyaing kemacetan DKI Jakarta.
Harus sampai
kapan kita berdiam diri menghadapi semua ini? Apakah kita sudah
terlalu nyaman dengan semua ini? Begitu banyaknya tenaga dan uang yang
bercucuran karena “bencana kemacetan” ini seharusnya membuat kita
sebagai pengguna jalan dan Pemkot Depok sebagai pihak pembuat kebijakan
sadar untuk mengatasi hal itu. Kalau sudah begini jadinya. Sepertinya,
pengurangan angkutan umum, penambahan volume jalan baik jalan umum atau
jalan bebas hambatan, perbaikan jalan, penambahan jembatan
penyeberangan hingga pemberlakuan “three in one” sebagai langkah
pengurangan volume kendaraaan pribadi mutlak dilaksanakan. Pemkot Depok
harus segera menata ulang Perencanaan Tata Ruang dan Wilayahnya dan
bergerak melaksanakan solusi tersebut. Namun, semua itu berbalik lagi
kepada kita sebagai penyebab utama kemacetan yang kita keluhkan sendiri.
Jika kita tak mendukung kebijakan di atas dan merubah kebiasaan kita
melanggar peraturan lalu lintas, impian melihat dan merasakan kemacetan
Kota Depok yang terkendali dan teratur hanya dongeng belaka bahkan
bukannya tak mungkin mengalahkan suramnya persoalan kemacetan di Ibukota
Indonesia, DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar